Minggu, 06 Mei 2007

Beni Sang Otodidak

Kata orang, manusia belajar dan berproses dalam menghadapi tantangan hidup. Ia harus bisa melakukan apa saja tanpa harus mengeluh. Mungkin perumpamaan tadi cocok dengan seseorang bernama Bambang Beni Saputra.

Oleh Hendy Adhitya N.

Sejak remaja, Beni telah mencari nafkah penghidupannya sendiri. Ia berusaha mandiri karena kemampuan finansial kedua orang tuanya saat itu tak mumpuni. Pernah ia bekerja sebagai kenek dan penjual bensin sewaktu masih mengenyam bangku pendidikan SMA.

Lepas dari bangku SMA Beni memutuskan tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi untuk sementara waktu. Baru setahun kemudian, Bapak bertubuh tambun ini memilih APPI (sekarang STIEKER di jalan Parangtritis) sebagai tempat menuntut ilmu.

Saat kuliah ia sempatkan kerja serabutan menjadi sales di sebuah perusahaan asuransi. Berkat usahanya yang tak kenal lelah ia bisa membiayai kuliah dengan uang hasil perasan keringatnya sendiri.

Selain itu, Beni pernah menjadi penjual jamu hasil racikannya sendiri. Jamu itu ia jual ke pasar-pasar tradisional di Jogjakarta. Salah satunya ia jual di Pasar Beringharjo. “Untuk meyakinkan pembeli, saya pakai stetoskop dan pakai pakaian dokter,” kenangnya.

Pria kelahiran Bandung 3 Maret 1960 ini ternyata tidak cukup puas dengan beragam profesi yang pernah dijalaninya. Beni berpendapat manusia itu harus inovatif. “Jangan jadi follower tapi jadilah trendsetter, “ ujarnya meniru salah satu iklan TV. Maka dengan swadaya sendiri ia memutuskan untuk berwiraswasta. Hotel melati “Duta Kencana” di Prawirotaman, jasa travel “Jaya Travel” di Sosrowijayan dan usaha mie ayam “Nusa Indah” merupakan usaha yang ia modali sendiri.


Awal Kesuksesan

Mungkin Beni telah dianugerahi keberuntungan beruntun oleh Tuhan. Betapa tidak seorang teman menawarinya berdagang mi di Malioboro Mall. Beni tak keluar rupiah sepeserpun untuk usaha barunya ini. Semua modal ditanggung partnernya itu. Tanpa pikir panjang Beni kemudian mengiyakan tawaran menggoda tersebut. Bulan Desember 1993, “Mie Nusantara” lahir di Malioboro Mall.

Selang satu tahun ia mulai berpikir tentang usaha mie ayamnya. Ia mencoba fokus ke Mie Nusantara. Sementara usaha yang lain ia kesampingkan dahulu. Apalagi Beni telah memiliki kompetitor bernama Mie Colombo. Maka ia harus segera menyusun strategi usahanya.

Bak komandan yang sudah berpengalaman dalam perang, Beni lalu mengutak-atik strategi penjualan mie-nya. Ia mempekerjakan tiga orang karyawan sebagai sales promotion Mie Nusantara. “Saya beri mereka pemahaman tentang produk, saya kasih strategi dan bagaimana cara mempersuasi orang lain,” ujarnya dengan penuh semangat.

Strategi Beni selain mempekerjakan tiga karyawan yaitu dengan memasang daftar menu beserta gambar di tempat usahanya. “Saya juga memberikan kartu selamat datang dan pertunjukan sulap kepada para pengunjung, ” tukasnya.

Dua tahun kemudian, mie ayamnya mulai dikenal masyarakat. Usahanya makin laris menjelang 1996 berakhir. Waktu itu jumlah kursi pengunjung warung Mie Nusantara sebanyak 24 kursi. “Saking ramainya sampai-sampai pengunjung nunggu giliran untuk makan,” kenangnya.

Memasuki tahun kritis 1997-1998 usaha Mie Nusantara sama sekali tak menunjukkan kegoyahan. Usaha yang dirintis empat tahun lalu ini tetap menunjukkan keperkasaan meski waktu itu perekonomian Indonesia tengah dihantam badai krisis moneter.

Usai kemelut 1998 tepatnya di tahun 1999 Beni menambah 65 kursi lagi untuk pengunjung. “Tapi ternyata masih kurang juga, masih banyak yang ngantri,” ujar pria penyuka warna hitam ini.

Awal milenium ketiga Beni menebar jala lagi. Malioboro Mall tampaknya belum cukup memuaskan hasratnya berdagang mie. Ia kemudian membuka cabang baru Mie Nusantara di Galeria, Jogja.

Kehawatiran Beni terhadap cabang baru Mie Nusantara di Galeria bakal tak sesukses di Malioboro Mall tak terjadi. Justru cabang baru ini lebih laris ketimbang pionirnya di Malioboro. “Sudah bisa menyaingi yang di Malioboro Mall dalam jangka waktu tiga bulan,” katanya dengan bangga. Pun, usahanya ini pernah diekspos di Harian Kedaulatan Rakyat dengan judul artikel “Galeria Mall Kebanjiran Mie”.

Sebelum Gempa Jogja 27 Mei tahun lalu, Beni membuka cabang baru lagi di Ambarukmo Plaza (Amplas), Jogja. “Tapi berikutnya terjadi gempa dan terpaksa Amplas harus tutup selama satu bulan penuh untuk renovasi,” katanya.

Renovasi di Amplas selesai. Usaha Beni berjalan lagi. Strategi dan promosi penjualan tetap sama, “ada kartu selamat datang dan pertunjukan sulap dari saya untuk pengunjung,” tukasnya.

Saat ini omzet penjualan ketiga “perusahaan” Mie Nusantara milik Beni sebesar sepuluh juta per hari. Tapi sebagai manusia ia masih belum puas dengan hasil yang telah didapatnya sekarang. Bahkan ia berangan-angan ingin membuka usaha di bidang lain. “Rencana ke depan saya ingin menjadi distributor produk dari berbagai macam barang,” ucapnya yakin.


Belajar Sulap

Disela-sela kesibukannya mengurus “perusahaan” ternyata Suami dari Sumarni ini menyukai hal-hal yang berbau mistik.”Saya suka hal aneh-aneh seperti belajar tenaga dalam, ilmu kebatinan dan sulap,” ujarnya. Alasannya karena ia ingin tampil beda dari orang lain.

Namun dari ketiga kegiatan “sampingan” itu Beni lebih menyukai sulap. “Soalnya di Jogja waktu itu profesi pesulap belum ada seperti sekarang ini,” katanya. Langkah awalnya ini ia mulai dengan membeli buku sulap. Beni lalu belajar sulap secara otodidak.

Awalnya Beni menganggap kesenangannya pada sulap merupakan kegiatan sampingan belaka. Namun ketika seorang teman mengundang Beni ke pesta ultah anaknya untuk bermain sulap, ia menjadi semakin serius menggeluti bidang ini. “Waktu itu saya ditarif 75.000 sekali tampil,” kenangnya.

Akhirnya ia membuka Bento Entertainment. Sebuah Event Organizer sulap miliknya. Tak cuma itu Beni juga membuka kursus sulap di Galeria Mall tahun 2002 bernama Band Magician. Dwi Montero merupakan salah satu anak didiknya.



Kemauan Kuat

Sang otodidak rupanya berhasil memanfaatkan kemampuannya di dunia ini. Berbekal rasa optimis dan sikap mau belajar, Beni sukses menghadapi segala rintangan hidup. Baginya, permasalahan ekonomi yang dialaminya dahulu bukan suatu halangan dalam mencapai sesuatu. Justru permasalahan itu ia lawan dengan usaha tiada henti.

Si mantan kenek ini kemudian berpesan, “kalau ingin mencapai sesuatu harus punya kemauan kuat dan keinginan.” (hen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar