Rabu, 11 Agustus 2010

Sekaten: Sejarah yang Tak Pernah Putus

“Malam di jantung Kota Yogyakarta itu tampak lebih semarak, rupanya acara adat yang digelar di tanah lapang setiap tahun itu sudah digelar. Lampu warna-warni terpasang rapi dan beriringan hampir di seluruh alun-alun, stan permainan sudah menancapkan palangnya, masuk lebih dalam terdapat awul-awul, kios sandang murah. Tak ketinggalan, dari ujung Trikora hingga Kraton Yogyakarta para pedangang menjajakan barang dagangan mereka. Begitulah sekaten yang dimaknai sebagai keramaian berbasis kebudayaan.”

Oleh Xaverius Rio, Titis Okta, Stefani Rahardjo, Winda Angelita

“Sultan miyos kanthi ginarebeg para sentono kawula lan punggawa,” begitulah ungkap Enggar Pikayanto, laki-laki berusia 37 tahun asal Yogyakarta. Pria kurus tinggi ini Teras Pers temui di sela-sela waktu istirahatnya. Memakai pakaian batik hijau sambil berjalan membawa Djarum, pria ini pun menghampiri kami yang ingin lebih mengenal sekaten dari pria yang sudah tujuh tahun bekerja di kraton. Dari sinilah cerita sejarah ini berawal.

Pelestarian nila-nilai sejarah dan kebudayaan merupakan cerminan nilai luhur bangsa, banyak kegiatan yang diupayakan guna menegakkan identitas Yogyakarta sebagai kota yang kaya akan berbagai macam kebudayaan. Salah satu upacara tradisional khas kota ini adalah sekaten yang menjadi upacara resmi saban setahun bagi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pemerintah provinsi ini mengajukan izin kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku penyelenggara adat keagamaan ini untuk menata, mengelola, dan memanfaatkannya sebagai media komunikasi dan informasi antara pemerintah dengan rakyat sebagai upaya untuk melaksanakan pembangunan yang lebih baik di Yogyakarta.

Acara ini memang tak lekang oleh waktu. Mulai dari zaman Kerajaan Demak, meniti perlahan ke Kerajaan Pajang kemudian berganti menjadi Kerajaan Mataram, lalu memasuki zaman penjajahan pun turut dilewati oleh perayaan ini. Hingga akhirnya di era kemerdekaan upacara adat ini masih dilakoni oleh Kraton Ndalem.

Tinta sejarah dimulai tahun 1477 Masehi, Raden Patah sebagai Adipati Kabupaten Demak dengan dukungan para wali membangun Masjid Agung Demak sebagai tempat ibadah dan tempat permusyawarah para wali. Kraton Ngayongyakarta Hadiningrat sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Demak yang juga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram. Sebelum Kerajaan Mataram, masyarakat Demak beragama nonmuslim, sebagaimana diketahui dalam sejarah,  Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kemudian atas usulan para wali, di mana konon salah satu dari para wali yakni Sunan Kalijaga mengusulkan tradisi syiar selama tujuh hari menjelang Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Agar menarik simpati rakyat dibunyikanlah perangkat gamelan ciptaan Sunan Giri dengan membawakan gendhing-gendhing ciptaan dari para wali songo.

Tak hanya gendhing yang dikumandangkan, hiburan-hiburan tradisional pun turut dipersembahkan untuk masyarakat. Mereka berduyun-duyun mendatangi pusat keramaian yang ada di Masijd Agung, bertepatan dengan kegiatan ini para wali pun memberikan ceramah atau syiar mengenai agama baru tersebut sehingga lama-kelamaan masyarakat tertarik untuk masuk Islam. Sebagai syaratnya masyarakat dituntut mengucapkan dua kalimat syahadat, konon dari dua kata yang diucapkan dari lidah seorang Jawa menjadi syahadatain.

Dari kata syahadatain inilah muncul istialah sekaten dari perubahan pengucapan. Sekaten pertama kali diadakan pada bulan Maulud, mulai tanggal 5-12 Maulud atau Robi’ul tiap awal tahun. Selama 35 hari lainnya adalah pasar malam, kemudian sisanya adalah sekatennya.

Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Demak ke Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati, Sultan Agung, lalu berujung pada Perjanjian Giyanti yang membuat kerajaan ini terbelah menjadi dua bagian, yakni Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta masih melanjutkan tradisi ini. Dengan acara puncak berupa upacara Grebeg. Grebeg sebenarnya berasal dari kata ginarebeg. Jadi mas, Sultan itu keluar dari Kraton Ndalem dengan diiringin seluruh kerabat, keluarga, dan punggawa-punggawanya dalam rombongan yang besar atau dalam bahasa Jawanya “Sultan miyos kanthi ginarebeg para sentono kawula lan punggawa,” tutur Enggar, pria yang hobi belajar sejarah dan budaya. Grebeg yang dimulai dengan arak-arakan dikawal oleh sepuluh prajurit kraton dan Surakarta serta pasukan Bugis di anjungan barisan.

Gunungan yang dibawa dari halaman Masjid Gedhe juga mempunyai nama, yaitu lanang, wadon, gepak, pawuhan, dan darat. ”Gunungan itu merupakan sebuah simbol sedekah seorang raja atas terima kasih kepada Tuhan karena hasil bumi dari rakyatnya, hasil bumi di Yogyakarta subur dan sultan mendapat itu dari rakyatnya. Intine bali nang rakyate malih,” tambah pria kelahiran 4 Oktober 1971 ini.

Gunungan ini pun akhirnya dibagikan kepada rakyat dengan dirayah atau diperebutkan, maksud dari rayahan  adalah dalam mendapatkan sesuatu kita harus berusaha atau berebut. Mitos dari gunungan yang dibuat oleh abdi dalem ini adalah bagi siapa pun yang bisa mendapatkan hasil bumi yang ada di gunungan, entah sayur-sayuran, kain yang dipakai, jajan pasarnya, sampai kerangka penyusun gunungan akan mendapatkan berkah. Upacara Grebeg ini setidaknya tiga kali dilakukan, yaitu Grebeg Syawal pada saat hari raya Idul Fitri, Grebeg Besar pada saat hari raya Idul Adha, dan Grebeg Maulud atau sering disebut dengan Grebeg Sekaten.

Melihat ke sisi luar kraton, di tempat hiburan anak-anak para karyawan bombomcar, roda maut ataupun kincir raksasa tampak beristirahat santai, kelompok ini dinamakan kelompok permainan Altar Ria. Keberadaan sekaten mendatangkan keuntungan tersendiri bagi para penjual yang turut menyemarakkan alun-alun utara.

Sebut saja Daud yang terlihat sedang berdiri di antara pakaian yang dijajakannya dari hari pertama sekaten. Omzet yang dihasilkannya mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah saat hari pembukaan sampai sekarang. ”Saya rasa penghasilan yang stabil belum saya dapat dan belum cukup karena saya membayar sewa tempat ini cukup mahal dan kami masing-masing sudah dibagi jatah sewa lahannya,” kata pria ini sambil menghisap rokoknya. ”Dulu enak karena penjual langsung datang ke pemerintah dan tidak diurus calo tanah, jadi lebih mahal harga sewa tanahnya,” ungkapnya. Lain Daud lain pula dengan Wahyu, ”Wah, saya tidak tahu ya apa calo itu ada ambil bagian atau nggak, saya cuma dikasih wewenang lapangan sama bos,” kata koordinator lapangan hiburan dan Alta Ria ini. “Kita juga tergantung cuaca mbak, kalau hujan bisa-bisa gak dapat uang, kalau nggak hujan sih bisa dapat sampai 300 ribu per hari,” lanjutnya.

Namun bagi perempuan muda seperti Anes, dia baru pertama kali datang ke sekaten ini. ”Baru hari ini saya pertama kali datang ke sini, mau lihat-lihat,” kata wanita yang mengaku berminat pada stan-stan pakaian.

Yogyakarta dengan segala pernak-pernik budayanya akan selalu mengingatkan kita, bahwa banyak tradisi yang akan selalu mewarnai kota gudeg ini. Selalu ada nilai-nilai yang kita jaga dalam sekaten. Dari 1756 hingga sekarang nilai itu tak boleh pudar, yaitu rasa kebersamaan. Sesuai tema di tahun ini “Memperkokoh Semangat Kebersamaan bagi Wong Jogja, Inspirasi untuk Indonesia”.
(selengkapnya...»)

Minggu, 08 Agustus 2010

Tiga Dekade Dirangkum dalam Refleksi Gerakan Anak

Gabriella Laras

Gelaran acara yang mengetengahkan isu pendidikan, identitas, dan hak anak berlangsung di Jogja National Museum (JNM), Jl. Amri Yahya No. 1, Wirobrajan, Yogyakarta. Bertajuk “Refleksi 30 Tahun Gerakan Anak di Indonesia”, semula direncanakan digelar dari awal bulan Juli hingga tanggal 5, namun diperpanjang hingga 11 Juli 2010 dikarenakan besarnya animo masyarakat.” 


dok. iCan
Selama tiga dekade, terhitung dari tahun 1980 hingga 2010 lembaga-lembaga nonpemerintah berkembang pesat dan menegaskan kepedulian mereka terhadap pemenuhan hak anak. Lembaga nonpemerintah yang tergabung dalam Koalisi Nasional NGO Anak bertumbuh hingga 32 anggota, belum lagi ditambah kisaran jumlah yang jauh lebih besar di luar koalisi tersebut.

Berlatarkan momentum tersebut diadakanlah sebuah gelaran acara bertajuk “Refleksi 30 Tahun Gerakan Anak di Indonesia” yang terdiri dari pameran sekaligus berbagai macam workshop. Refleksi 30 Tahun Gerakan Anak di Indonesia disokong oleh kerjasama dari lembaga-lembaga nonpemerintah, seperti Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), Indonesia Contemporary Art Network (iCAN), Koalisi Organisasi Nonpemerintah (NGO) Nasional Pemantau Hak Anak, dan Save the Children Indonesia.

Save the Children merupakan organisasi nonprofit dengan cakupan internasional yang bertujuan membantu anak-anak di seluruh dunia, caranya adalah dengan memperbaiki kehidupan mereka melalui pendidikan, fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, bahkan pertolongan ketika terjadi bencana alam, konflik, maupun perang. Sedang Koalisi Nasional Ornop Pemantau Hak Anak adalah gabungan dari 36 NGO dari seluruh Indonesia yang bergerak di bidang hak anak, di mana di dalamnya tergabunglah Yayasan Samin. Kemudian iCAN, sebagai lembaga yang bekerja untuk membangun jaringan, dialog, dan kolaborasi kritis antara pelaku-pelaku dunia seni rupa kontemporer Indonesia, bertugas memfasilitasi proyek dan forum-forum seni, juga mendukung perkembangan riset dan kritisisme seni.

Pembukaan pameran pada tanggal 1 Juli 2010 dihadiri oleh Setiawan Cahyo Nugroho dari Save the Children in Indonesia, Yayasan Samin diwakilkan oleh Mochammad Farid sekaligus memberikan sambutan, lalu Antariksa dan Bambang Ertanto selaku kurator pameran, dan Titarubi sebagai direktur artistik pameran.
 
Selama acara diluncurkanlah website berisikan pemantauan hak anak di Indonesia dengan alamat www.indochildrights.org dan www.canmanage.net, diadakan pula lokakarya Koalisi Nasional Ornop untuk Hak Anak, dan pameran arsip dari organisasi-organisasi masyarakat sipil di berbagai kota di Indonesia. Berbagai arsip yang ditampilkan dalam pameran, antara lain audio, video, buku, media-media tentang anak dan yang ditulis oleh mereka, kliping artikel dari media, beragam foto, replika benda-benda yang berhubungan dengan anak seperti meja dan bangku sekolah, gambar-gambar karya anak, tulisan karya anak, juga artefak-artefak seperti kaos, tas, piagam, dan piala anak pinggiran. Berbagai workshop juga digelar. Diprakarsai oleh Yayasan Samin, tiap-tiap worskhop diikuti oleh sekitar 15 peserta dengan total keseluruhan 60 orang.

“Dan kami memasukkan gerbong kereta ke dalam JNM,” ujar Maya Larasati dari iCAN. Alasannya adalah karena kereta dan rel punya peran yang sangat penting untuk anak-anak jalanan di Jawa. Dengan kereta mereka membangun jaringan, solidaritas, sebagai transportasi, komunikasi, dan jalur persaudaraan. “Jadi waktu itu kereta kan alat transport yang mudah ditemukan, gampang dipake secara gratis, numpang kereta barang. Bisa ke mana aja di Jawa, jadi anak jalanan Jogja kenal anak jalanan Surabaya dan sebagainya lewat kereta terus mereka bisa cari makan juga di stasiun. Di mana-mana ini ga bisa terjadi di terminal entah kenapa. Daun di atas Bantal kami puter di dalam gerbong terus ada lagi filmnya Garin, Dongeng Kancil,” sambung asisten kurator iCAN ini.

dok iCan
 Pada dasarnya pemerintah sudah mengesahkan konvensi hak anak pada tahun 1990 menjadi Keppres Nomor 36 Tahun 1990 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” sesuai dengan apa yang tertera pada undang-undang tersebut pasal 1 ayat 1 dan 2. Oleh karena itulah, hak anak menjadi bagian dari hak manusia itu sendiri, yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan, selain itu jaminan atas mereka untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Maka pendidikan pun tidak hanya terbatas pada anak yang bisa dikatakan normal, anak penyandang cacat juga berhak mendapat pendidikan luar biasa, sedangkan anak yang memiliki keunggulan pun berhak mendapatkan pendidikan khusus. Itu semua bisa kita temukan dalam isi undang-undang sebagai acuan dasar.

Odi Shalahudin, Direktur Eksekutif Yayasan SAMIN mengharapkan dengan adanya Refleksi 30 Tahun Gerakan Anak di Indonesia bisa menambah wawasan masyarakat tentang hak anak, bagaimana hak-hak mereka sepatutnya terpenuhi. Sedangkan Koordinator pameran, Fathuddin menyatakan bahwa isu perlindungan anak dalam pameran berkaitan juga dengan nasib anak-anak jalanan yang kian memprihatinkan.

Pameran ini bertujuan untuk menyosialisasikan hasil-hasil proyek rintisan Koalisi Nasional Ornop Pemantau Hak Anak, kemudian mengumpulkan, mendokumentasikan, dan menginformasikan berbagai macam metode, alat, dan media yang digunakan oleh banyak organisasi masyarakat tersebut sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Tentu dengan maksud memperjuangkan pemenuhan hak anak, tak luput pula mendiskusikan tantangan dan kesempatan gerakan hak anak di Indonesia saat ini dan masa selanjutnya. ”Harapanku makin banyak yang memperhatikan anak-anak, anak itu subyek, bukan obyek kepemilikan orang tua, bahkan negara,” tutup Maya Larasati.[gaby]
(selengkapnya...»)

Kamis, 17 Mei 2007

Cinta Alam dan Budaya ala Christian Awuy

“Saat itu awan panas ada di belakang mengejar mobil yang sedang saya kendarai. Jaraknya Cuma 50 meter dibelakang, tapi akhirnya saya berhasil menghindarinya,” ujar Christian Awuy (61) menceritakan pengalamannya sewaktu Gunung Merapi meletus tanggal 14 Juni 2006 silam.

Oleh Hendy Adhitya

Saat itu Christian beserta Tim SAR tengah berusaha menyelamatkan dua orang tim SAR yang terjebak di dalam bunker di Kali Adem, Sleman, Yogyakarta. Tapi apa daya awan panas keburu melalap dua orang temannya sebelum Ia dan Tim SAR berhasil menyelamatkan mereka.

Sebagai Sekretaris Tim SAR Gunung Merapi sudah sewajarnya Christian berbuat seperti itu. Tugasnya berat, selain terjun langsung sebagai tim pengevakuasi ia juga harus mengatur rasa panik dan mengurus kawasan pengungsi Gunung Merapi.

Tak cuma jago di bidang penanggulangan bencana, di bidang pariwisata nama Christian Awuy juga diakui khalayak lokal, nasional bahkan internasional. 72 penghargaan pernah ia raih sejak 1987. Salah satu penghargaan yang ia dapat ialah sebagai Tokoh Pariwisata ASEAN 2001. Saat itu ia berhasil mempromosikan Gunung Merapi kepada dunia Internasional lewat sebuah buku panduan wisata Asia. Judulnya Across Asia and Pasific by Word of Mouth. Buku itu yang akhirnya mampu mengundang rasa penasaran wisatawan mancanegara untuk datang mengunjungi Gunung Merapi.


Sering Bolos

Kehidupan masa kecil mantan pelaut ini ternyata cukup unik. “Dulu saya ini tukang bolos, saya sering tidak masuk sekolah soalnya di sebelah sekolah ada bioskop. Dan saya sering sekali diajak operator proyektor nonton film,” kenangnya. Kebiasaan membolos ini akhirnya berdampak pula pada nilai mata pelajarannya.

“Dulu juga pernah saya menggantikan operator proyektor yang sakit, tapi film yang saya putar itu film 17 tahun –film dewasa pen-, ” ujarnya. “Padahal waktu itu usia saya 15 tahun,” lanjut Pria yang beristrikan keturunan Jepang ini.

Akhirnya profesi dadakan Christian ketahuan juga. Dirinya dimarahi oleh orang tuanya karena menjalani profesi seperti itu. Sejak saat itu, Christian muda sadar dan tak pernah membolos lagi.

Segudang pengalaman melaut ia dapatkan sewaktu bersekolah di SLTA Perwira Pelayaran Indonesia. “Saya sudah pernah melaut keseluruh benua selama 15 tahun,” ujarnya. “Dua tempat yang belum pernah saya kunjungi adalah kutub utara dan kutub selatan,” katanya sambil tertawa.

Di sana, Pria kelahiran Manado, 10 November 1946 ini diposisikan sebagai pegawai administrasi. Namun bukan berarti jabatan yang ia ampu sebatas duduk di belakang meja. Ia pernah mengalami berbagai kecelakaan selama berlayar mengarungi samudra.


Mengurus Perhotelan

Kini setelah melanglang buana selama 15 tahun, Christian bersama Masako Tanaka, istrinya, membuka penginapan dan restoran Vogels. Tak hanya itu, saat ini Christian menjabat sebagai ketua Asosiasi Pengusaha Perhotelan Kaliurang sejak 1993.

“Barusan (15/04) saya rapat dengan pengusaha perhotelan mengenai pengadaan air minum. Karena baru terjadi longsor di tebing Kali kuning sehingga menyebabkan pipa pembawa air hancur. Solusinya kami akan meminta mobil-mobil tangki dari kota untuk menyuplai persediaan air minum.

Sebenarnya ada persediaan air di Tlogo Putri, tapi masyarakat Kali Urang tak bisa semuanya mengkonsumsi air itu. Karena debit air di Tlogo Putri sedikit,” jelasnya.


Ingin Melestarikan Budaya Jawa

Dari sekian banyak profesi dan pengalaman yang telah ia alami, ternyata masih ada satu hal yang belum bisa ia realisasikan. Impian itu ialah usaha untuk mengangkat kebudayaan Jawa.

Ia sangat berharap orang diluar suku Jawa bisa mengeksplorasi kebudayaan tanah padi ini (Jawa –dalam bahasa sansekerta artinya tanah padi). “Karena budaya Jawa sangat adiluhung. Dan jangan sampai orang asing belajar budaya Jawa, tapi generasi muda kita sendiri tidak peduli dengan budayanya," katanya.

Pria yang juga Ketua Pokja Budaya Jawa ini khawatir jika suatu saat nanti kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa bakal diambil dan diklaim negara asing. “Lihat saja, gamelan sekarang bisa dipelajari di Amerika (Serikat-pen) sana,” ujarnya.

Ia pun sempat memiliki ide tentang pelestarian budaya Jawa dan menuangkannya ke dalam sebuah tulisan di media massa. “Pernah saya menulis dan menyarankan kepada Sultan HB IX untuk menginstruksikan rakyat Jogja memakai sorjan –tutup kepala pen- satu hari saja dalam sebulan. Tapi tulisan ini tidak pernah ada tanggapan lanjut,” tukasnya.

Meski begitu, Christian tetap akan memperjuangkan hal ini. “Bukannya saya menolak modernisasi, tapi seharusnya modernisasi itu disesuaikan dengan budaya setempat,” ujarnya tegas. Ia mencontohkan bentuk bangunan di Malioboro seharusnya bercirikan rumah adat Yogya, yaitu Joglo. “Karena seperti kata pepatah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung,” katanya sambil menutup perbincangan.
(selengkapnya...»)

Selasa, 15 Mei 2007

Seni Grafis Lebih Berani

Seni grafis tidak terlalu signifikan dalam perkembangannya. Kebanyakan para mahasiswa seni dan pegrafis merasa kesulitan untuk berekspresi menuangkan karya seninya karena keterbatasan tempat dan waktu.

Foto dan Artikel oleh Hendy Adhitya

Apalagi keberadaan studio grafis paling banter hanya milik instansi pendidikan dan individu tertentu. Belum ada studio grafis yang mau menampung dan menerima semua elemen masyarakat untuk belajar dan berproduksi bersama.

Berawal dari permasalahan itulah, Alexander Nawangseto, Arya Pandjalu, Danang Hadi P, Maryanto, Petrus Priya Wicaksana, Ruly Putra Adi, Theresia Agustina Sitompul, dan Doddy Yudhanta memutuskan untuk mendirikan sebuah komunitas dan studio grafis di daerah Minggiran. Studio dan komunitas ini diharapkan dapat menjadi tempat semua lapisan masyarakat berkumpul menjadi satu dan belajar bersama tentang seni grafis.

Komunitas Seni Minggiran sendiri resmi lahir tanggal 1 September 2001 bertepatan dengan pameran bersama di Gelaran Budaya Yogyakarta. Sebelumnya, komunitas ini merupakan babak lanjutan dari Komunitas Red Point (1998) yang sempat bubar. Pendirinya dahulu ialah Petrus dan Anto. Keduanya merupakan seniman grafis lulusan ISI Yogyakarta.

“Kita pilih seni grafis manual karena saat itu -1998 pen.- belum ada di Jogja, baru di Bandung,” ujar Petrus (30). Lebih jauh lagi alasan Petrus memilih seni grafis ini dikarenakan keberadaan seni saat ini kurang daya kreasi.


Ikut Pameran

Seperti halnya sebuah komunitas seni, berbagai macam pameran dan gelaran workshop pernah mereka adakan. Misalnya sewaktu mereka mengadakan pameran Print Making Exhibition di galeri restoran Kedai Kebun Forum (KKF) selama satu bulan mulai dari 22 September hingga 22 Oktober 2004. Sedangkan salah satu workshop yang telah mereka garap ialah workshop terbuka "open studio" di Rumah Seni Cemeti tanggal 19-31 Desember 2006 lalu.

Bermain di area lokal saja tak cukup. Komunitas Seni Minggiran juga pernah mendapat undangan pameran di beberapa negara di dunia. Seperti, Jepang, Finlandia, Bulgaria dan Jerman pernah mereka sambangi.


Pernah Vakum

Berformat open studio grafis –siapa pun bisa belajar bersama pen- perjalanan tahun ke tahun Komunitas Seni Minggiran tak selamanya sukses. Mereka sempat mengalami vakum di tahun 2005. “Kita sempat mengalami capek saat itu, penyebabnya kita sering kerja malam hari. Belum lagi kita harus bekerja dengan menggunakan bahan yang beracun,” kata Petrus.

Usai tahun 2005, Petrus dan kawan-kawan berpikir untuk menggunakan bahan ramah lingkungan dalam memproduksi karya-karya mereka. “Makanya, kita mau membuat studio grafis non-toxic,” tukasnya. “Rencananya dalam waktu dekat ini, kita bakal merealisasikannya,” tambahnya.


Kaya Teknik
 

“Seni grafis ini lebih kaya teknik,” kata Petrus meyakinkan. Kemudian ia menyebutkan teknik-teknik yang biasa dipakai dalam membuat grafis. Pertama, teknik cetak dalam, seperti dry poin, etching, aquatint dan mezotint. Kedua teknik cetak tinggi seperti woodcut, lynocut dan stempel. Ketiga, teknik cetak saring contohnya sablon. Dan keempat, teknik monoprint.

Ambil salah satu contoh, yaitu teknik dry poin dan etsa. Teknik ini memiliki perbedaan pada proses percetakannya. Etsa membutuhkan teknik pengasaman maka dry poin tidak. Media yang dapat dipakai untuk menggoreskan gambar adalah baja dan mika. Jarum untuk menggores pun tak boleh sembarangan.

Setelah digores pada media, gambar yang telah dibuat lalu ditutup dengan tinta. Sedangkan bagian yang tak dibutuhkan tinta dihapus kemudian dipres atau dicetak. Bila hasil kurang memuaskan atau kurang sesuai dengan keinginan maka si pembuat dapat memperbaiki goresannya. Goresan pada mika dan baja ini dapat dicetak kembali untuk memperbanyak karya.


Semua Bisa

Lalu apa saja syarat seseorang untuk masuk menjadi anggota komunitas yang studio grafisnya terletak di Kampung Dukuh MJ 1 No.755A Rt22 /Rw15 Suryodiningratan ini? “Tak ada syarat khusus,” ucap Petrus.

“Semua orang bisa masuk, semua orang bisa bikin karya disini,” lanjutnya. Lebih jauh lagi, para pengunjung yang ingin belajar dan memproduksi sendiri karya mereka, akan didampingi dengan senang hati oleh kawan Komunitas Seni Minggiran.

Baginya, yang paling penting dalam berseni ialah keberanian. Jangan pernah takut salah. Entah orang itu pakar atau awam sekali pun dalam memahami seni grafis manual.

(selengkapnya...»)

Minggu, 06 Mei 2007

Beni Sang Otodidak

Kata orang, manusia belajar dan berproses dalam menghadapi tantangan hidup. Ia harus bisa melakukan apa saja tanpa harus mengeluh. Mungkin perumpamaan tadi cocok dengan seseorang bernama Bambang Beni Saputra.

Oleh Hendy Adhitya N.

Sejak remaja, Beni telah mencari nafkah penghidupannya sendiri. Ia berusaha mandiri karena kemampuan finansial kedua orang tuanya saat itu tak mumpuni. Pernah ia bekerja sebagai kenek dan penjual bensin sewaktu masih mengenyam bangku pendidikan SMA.

Lepas dari bangku SMA Beni memutuskan tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi untuk sementara waktu. Baru setahun kemudian, Bapak bertubuh tambun ini memilih APPI (sekarang STIEKER di jalan Parangtritis) sebagai tempat menuntut ilmu.

Saat kuliah ia sempatkan kerja serabutan menjadi sales di sebuah perusahaan asuransi. Berkat usahanya yang tak kenal lelah ia bisa membiayai kuliah dengan uang hasil perasan keringatnya sendiri.

Selain itu, Beni pernah menjadi penjual jamu hasil racikannya sendiri. Jamu itu ia jual ke pasar-pasar tradisional di Jogjakarta. Salah satunya ia jual di Pasar Beringharjo. “Untuk meyakinkan pembeli, saya pakai stetoskop dan pakai pakaian dokter,” kenangnya.

Pria kelahiran Bandung 3 Maret 1960 ini ternyata tidak cukup puas dengan beragam profesi yang pernah dijalaninya. Beni berpendapat manusia itu harus inovatif. “Jangan jadi follower tapi jadilah trendsetter, “ ujarnya meniru salah satu iklan TV. Maka dengan swadaya sendiri ia memutuskan untuk berwiraswasta. Hotel melati “Duta Kencana” di Prawirotaman, jasa travel “Jaya Travel” di Sosrowijayan dan usaha mie ayam “Nusa Indah” merupakan usaha yang ia modali sendiri.


Awal Kesuksesan

Mungkin Beni telah dianugerahi keberuntungan beruntun oleh Tuhan. Betapa tidak seorang teman menawarinya berdagang mi di Malioboro Mall. Beni tak keluar rupiah sepeserpun untuk usaha barunya ini. Semua modal ditanggung partnernya itu. Tanpa pikir panjang Beni kemudian mengiyakan tawaran menggoda tersebut. Bulan Desember 1993, “Mie Nusantara” lahir di Malioboro Mall.

Selang satu tahun ia mulai berpikir tentang usaha mie ayamnya. Ia mencoba fokus ke Mie Nusantara. Sementara usaha yang lain ia kesampingkan dahulu. Apalagi Beni telah memiliki kompetitor bernama Mie Colombo. Maka ia harus segera menyusun strategi usahanya.

Bak komandan yang sudah berpengalaman dalam perang, Beni lalu mengutak-atik strategi penjualan mie-nya. Ia mempekerjakan tiga orang karyawan sebagai sales promotion Mie Nusantara. “Saya beri mereka pemahaman tentang produk, saya kasih strategi dan bagaimana cara mempersuasi orang lain,” ujarnya dengan penuh semangat.

Strategi Beni selain mempekerjakan tiga karyawan yaitu dengan memasang daftar menu beserta gambar di tempat usahanya. “Saya juga memberikan kartu selamat datang dan pertunjukan sulap kepada para pengunjung, ” tukasnya.

Dua tahun kemudian, mie ayamnya mulai dikenal masyarakat. Usahanya makin laris menjelang 1996 berakhir. Waktu itu jumlah kursi pengunjung warung Mie Nusantara sebanyak 24 kursi. “Saking ramainya sampai-sampai pengunjung nunggu giliran untuk makan,” kenangnya.

Memasuki tahun kritis 1997-1998 usaha Mie Nusantara sama sekali tak menunjukkan kegoyahan. Usaha yang dirintis empat tahun lalu ini tetap menunjukkan keperkasaan meski waktu itu perekonomian Indonesia tengah dihantam badai krisis moneter.

Usai kemelut 1998 tepatnya di tahun 1999 Beni menambah 65 kursi lagi untuk pengunjung. “Tapi ternyata masih kurang juga, masih banyak yang ngantri,” ujar pria penyuka warna hitam ini.

Awal milenium ketiga Beni menebar jala lagi. Malioboro Mall tampaknya belum cukup memuaskan hasratnya berdagang mie. Ia kemudian membuka cabang baru Mie Nusantara di Galeria, Jogja.

Kehawatiran Beni terhadap cabang baru Mie Nusantara di Galeria bakal tak sesukses di Malioboro Mall tak terjadi. Justru cabang baru ini lebih laris ketimbang pionirnya di Malioboro. “Sudah bisa menyaingi yang di Malioboro Mall dalam jangka waktu tiga bulan,” katanya dengan bangga. Pun, usahanya ini pernah diekspos di Harian Kedaulatan Rakyat dengan judul artikel “Galeria Mall Kebanjiran Mie”.

Sebelum Gempa Jogja 27 Mei tahun lalu, Beni membuka cabang baru lagi di Ambarukmo Plaza (Amplas), Jogja. “Tapi berikutnya terjadi gempa dan terpaksa Amplas harus tutup selama satu bulan penuh untuk renovasi,” katanya.

Renovasi di Amplas selesai. Usaha Beni berjalan lagi. Strategi dan promosi penjualan tetap sama, “ada kartu selamat datang dan pertunjukan sulap dari saya untuk pengunjung,” tukasnya.

Saat ini omzet penjualan ketiga “perusahaan” Mie Nusantara milik Beni sebesar sepuluh juta per hari. Tapi sebagai manusia ia masih belum puas dengan hasil yang telah didapatnya sekarang. Bahkan ia berangan-angan ingin membuka usaha di bidang lain. “Rencana ke depan saya ingin menjadi distributor produk dari berbagai macam barang,” ucapnya yakin.


Belajar Sulap

Disela-sela kesibukannya mengurus “perusahaan” ternyata Suami dari Sumarni ini menyukai hal-hal yang berbau mistik.”Saya suka hal aneh-aneh seperti belajar tenaga dalam, ilmu kebatinan dan sulap,” ujarnya. Alasannya karena ia ingin tampil beda dari orang lain.

Namun dari ketiga kegiatan “sampingan” itu Beni lebih menyukai sulap. “Soalnya di Jogja waktu itu profesi pesulap belum ada seperti sekarang ini,” katanya. Langkah awalnya ini ia mulai dengan membeli buku sulap. Beni lalu belajar sulap secara otodidak.

Awalnya Beni menganggap kesenangannya pada sulap merupakan kegiatan sampingan belaka. Namun ketika seorang teman mengundang Beni ke pesta ultah anaknya untuk bermain sulap, ia menjadi semakin serius menggeluti bidang ini. “Waktu itu saya ditarif 75.000 sekali tampil,” kenangnya.

Akhirnya ia membuka Bento Entertainment. Sebuah Event Organizer sulap miliknya. Tak cuma itu Beni juga membuka kursus sulap di Galeria Mall tahun 2002 bernama Band Magician. Dwi Montero merupakan salah satu anak didiknya.



Kemauan Kuat

Sang otodidak rupanya berhasil memanfaatkan kemampuannya di dunia ini. Berbekal rasa optimis dan sikap mau belajar, Beni sukses menghadapi segala rintangan hidup. Baginya, permasalahan ekonomi yang dialaminya dahulu bukan suatu halangan dalam mencapai sesuatu. Justru permasalahan itu ia lawan dengan usaha tiada henti.

Si mantan kenek ini kemudian berpesan, “kalau ingin mencapai sesuatu harus punya kemauan kuat dan keinginan.” (hen)
(selengkapnya...»)