Rabu, 11 Agustus 2010

Sekaten: Sejarah yang Tak Pernah Putus

“Malam di jantung Kota Yogyakarta itu tampak lebih semarak, rupanya acara adat yang digelar di tanah lapang setiap tahun itu sudah digelar. Lampu warna-warni terpasang rapi dan beriringan hampir di seluruh alun-alun, stan permainan sudah menancapkan palangnya, masuk lebih dalam terdapat awul-awul, kios sandang murah. Tak ketinggalan, dari ujung Trikora hingga Kraton Yogyakarta para pedangang menjajakan barang dagangan mereka. Begitulah sekaten yang dimaknai sebagai keramaian berbasis kebudayaan.”

Oleh Xaverius Rio, Titis Okta, Stefani Rahardjo, Winda Angelita

“Sultan miyos kanthi ginarebeg para sentono kawula lan punggawa,” begitulah ungkap Enggar Pikayanto, laki-laki berusia 37 tahun asal Yogyakarta. Pria kurus tinggi ini Teras Pers temui di sela-sela waktu istirahatnya. Memakai pakaian batik hijau sambil berjalan membawa Djarum, pria ini pun menghampiri kami yang ingin lebih mengenal sekaten dari pria yang sudah tujuh tahun bekerja di kraton. Dari sinilah cerita sejarah ini berawal.

Pelestarian nila-nilai sejarah dan kebudayaan merupakan cerminan nilai luhur bangsa, banyak kegiatan yang diupayakan guna menegakkan identitas Yogyakarta sebagai kota yang kaya akan berbagai macam kebudayaan. Salah satu upacara tradisional khas kota ini adalah sekaten yang menjadi upacara resmi saban setahun bagi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pemerintah provinsi ini mengajukan izin kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku penyelenggara adat keagamaan ini untuk menata, mengelola, dan memanfaatkannya sebagai media komunikasi dan informasi antara pemerintah dengan rakyat sebagai upaya untuk melaksanakan pembangunan yang lebih baik di Yogyakarta.

Acara ini memang tak lekang oleh waktu. Mulai dari zaman Kerajaan Demak, meniti perlahan ke Kerajaan Pajang kemudian berganti menjadi Kerajaan Mataram, lalu memasuki zaman penjajahan pun turut dilewati oleh perayaan ini. Hingga akhirnya di era kemerdekaan upacara adat ini masih dilakoni oleh Kraton Ndalem.

Tinta sejarah dimulai tahun 1477 Masehi, Raden Patah sebagai Adipati Kabupaten Demak dengan dukungan para wali membangun Masjid Agung Demak sebagai tempat ibadah dan tempat permusyawarah para wali. Kraton Ngayongyakarta Hadiningrat sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Demak yang juga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram. Sebelum Kerajaan Mataram, masyarakat Demak beragama nonmuslim, sebagaimana diketahui dalam sejarah,  Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kemudian atas usulan para wali, di mana konon salah satu dari para wali yakni Sunan Kalijaga mengusulkan tradisi syiar selama tujuh hari menjelang Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Agar menarik simpati rakyat dibunyikanlah perangkat gamelan ciptaan Sunan Giri dengan membawakan gendhing-gendhing ciptaan dari para wali songo.

Tak hanya gendhing yang dikumandangkan, hiburan-hiburan tradisional pun turut dipersembahkan untuk masyarakat. Mereka berduyun-duyun mendatangi pusat keramaian yang ada di Masijd Agung, bertepatan dengan kegiatan ini para wali pun memberikan ceramah atau syiar mengenai agama baru tersebut sehingga lama-kelamaan masyarakat tertarik untuk masuk Islam. Sebagai syaratnya masyarakat dituntut mengucapkan dua kalimat syahadat, konon dari dua kata yang diucapkan dari lidah seorang Jawa menjadi syahadatain.

Dari kata syahadatain inilah muncul istialah sekaten dari perubahan pengucapan. Sekaten pertama kali diadakan pada bulan Maulud, mulai tanggal 5-12 Maulud atau Robi’ul tiap awal tahun. Selama 35 hari lainnya adalah pasar malam, kemudian sisanya adalah sekatennya.

Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Demak ke Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati, Sultan Agung, lalu berujung pada Perjanjian Giyanti yang membuat kerajaan ini terbelah menjadi dua bagian, yakni Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta masih melanjutkan tradisi ini. Dengan acara puncak berupa upacara Grebeg. Grebeg sebenarnya berasal dari kata ginarebeg. Jadi mas, Sultan itu keluar dari Kraton Ndalem dengan diiringin seluruh kerabat, keluarga, dan punggawa-punggawanya dalam rombongan yang besar atau dalam bahasa Jawanya “Sultan miyos kanthi ginarebeg para sentono kawula lan punggawa,” tutur Enggar, pria yang hobi belajar sejarah dan budaya. Grebeg yang dimulai dengan arak-arakan dikawal oleh sepuluh prajurit kraton dan Surakarta serta pasukan Bugis di anjungan barisan.

Gunungan yang dibawa dari halaman Masjid Gedhe juga mempunyai nama, yaitu lanang, wadon, gepak, pawuhan, dan darat. ”Gunungan itu merupakan sebuah simbol sedekah seorang raja atas terima kasih kepada Tuhan karena hasil bumi dari rakyatnya, hasil bumi di Yogyakarta subur dan sultan mendapat itu dari rakyatnya. Intine bali nang rakyate malih,” tambah pria kelahiran 4 Oktober 1971 ini.

Gunungan ini pun akhirnya dibagikan kepada rakyat dengan dirayah atau diperebutkan, maksud dari rayahan  adalah dalam mendapatkan sesuatu kita harus berusaha atau berebut. Mitos dari gunungan yang dibuat oleh abdi dalem ini adalah bagi siapa pun yang bisa mendapatkan hasil bumi yang ada di gunungan, entah sayur-sayuran, kain yang dipakai, jajan pasarnya, sampai kerangka penyusun gunungan akan mendapatkan berkah. Upacara Grebeg ini setidaknya tiga kali dilakukan, yaitu Grebeg Syawal pada saat hari raya Idul Fitri, Grebeg Besar pada saat hari raya Idul Adha, dan Grebeg Maulud atau sering disebut dengan Grebeg Sekaten.

Melihat ke sisi luar kraton, di tempat hiburan anak-anak para karyawan bombomcar, roda maut ataupun kincir raksasa tampak beristirahat santai, kelompok ini dinamakan kelompok permainan Altar Ria. Keberadaan sekaten mendatangkan keuntungan tersendiri bagi para penjual yang turut menyemarakkan alun-alun utara.

Sebut saja Daud yang terlihat sedang berdiri di antara pakaian yang dijajakannya dari hari pertama sekaten. Omzet yang dihasilkannya mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah saat hari pembukaan sampai sekarang. ”Saya rasa penghasilan yang stabil belum saya dapat dan belum cukup karena saya membayar sewa tempat ini cukup mahal dan kami masing-masing sudah dibagi jatah sewa lahannya,” kata pria ini sambil menghisap rokoknya. ”Dulu enak karena penjual langsung datang ke pemerintah dan tidak diurus calo tanah, jadi lebih mahal harga sewa tanahnya,” ungkapnya. Lain Daud lain pula dengan Wahyu, ”Wah, saya tidak tahu ya apa calo itu ada ambil bagian atau nggak, saya cuma dikasih wewenang lapangan sama bos,” kata koordinator lapangan hiburan dan Alta Ria ini. “Kita juga tergantung cuaca mbak, kalau hujan bisa-bisa gak dapat uang, kalau nggak hujan sih bisa dapat sampai 300 ribu per hari,” lanjutnya.

Namun bagi perempuan muda seperti Anes, dia baru pertama kali datang ke sekaten ini. ”Baru hari ini saya pertama kali datang ke sini, mau lihat-lihat,” kata wanita yang mengaku berminat pada stan-stan pakaian.

Yogyakarta dengan segala pernak-pernik budayanya akan selalu mengingatkan kita, bahwa banyak tradisi yang akan selalu mewarnai kota gudeg ini. Selalu ada nilai-nilai yang kita jaga dalam sekaten. Dari 1756 hingga sekarang nilai itu tak boleh pudar, yaitu rasa kebersamaan. Sesuai tema di tahun ini “Memperkokoh Semangat Kebersamaan bagi Wong Jogja, Inspirasi untuk Indonesia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar